Komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri

Kamis, 09 Oktober 2014

Misteri Geometri Modern dalam Gorga Batak.

Padahal peradaban tua yang tak mengenal perangkat geometri modern.


Senin, 5 November 2012, 19:42

geometri modern dalam Gorga Batak (Bandung Fe Institute )
 -- Dalam bahasa Batak, gorga berarti corak. Ia dijadikan motif ulos hingga ukiran di rumah-rumah adat dan alat kesenian.

Tak hanya sekedar interpretasi leluhur terhadap alam dan kekuatan di sekelilingnya, hasil ekspedisi dan penelitian Bandung Fe Institute dan Indonesian Archipelago Cultural Initiatives mengungkap dimensi fraktal, atau geometri modern dalam Gorga Batak.

Temuan didapat dalam ekspedisi Gorga Batak yang dilakukan oleh tim Gerakan Sejuta Data Budaya (GSDB) pada 9-22 Juli 2012. Sebelumnya tim ini telah menghasilkan 30 riset data artefak kebudayaan Indonesia, antara lain batik fraktal, evolusi batik, mekanika statistika lagu tradisional, studi komputasional candi sampai kajian graph struktur birokrasi kerajaan tradisional nusantara.

Dalam corak ukiran Batak, tim menyimpulkan bahwa Gorga Batak memiliki dimensi fraktal pada selang 1.4 hingga 1.6. Ini berarti Gorga Batak berada di antara dimensi garis dan bidang dua dimensi. Fraktal merupakan sebuah konsep geometri kontemporer, yang baru berkembang beberapa dekade terakhir dalam studi matematika. Pendekatan ini dipelopori oleh Matematikawan Perancis, Benoit Mandelbrot (1924-2010).

"Kami berhasil mendata motif ukiran yang sudah berusia ratusan tahun, dan juga ukiran yang telah teralkuturasi dengan budaya lain," jelas Vande Leonardo, anggota Tim Ekspedisi yang juga Manajer Humas Bandung Fe Institute kepada VIVAnews, Senin 5 November 2012.

Vande menyebutkan motif ukiran yang asli bisa dideteksi dengan usia yang tua. Dan motif ukiran berusia tua semuanya bermotif sulur-suluran. Sulur-suluran sendiri merupakan, sejenis bentuk dan pola memutar, dari deretan bentuk-bentuk melingkar konsentris, yang menjadi landasan dekorasi ornamental yang mengekspresikan bentuk-bentuk muka atau wajah, beberapa dikatakan mengambil bentuk singa dan naga.

Namun, ia mengaku timnya keheranan karena semua bangunan yang ditemui tidak memiliki motif sulur-suluran (pepohonan merambat) yang sama.

"Semuanya berbeda, variasi sulur-suluran Gorga Batak tak pernah sama dan sebangun satu sama lain, dan kita tahu, detail dari bentuk-bentukkompleks tersebut muncul dari peradaban tua yang tak mengenal perangkat geometri modern seperti yang kita ketahui saat ini," ujarnya.

Salah satu keunikan motif gorga tersebut yaitu motif ukiran mengikuti skema pohon merambat dan skema tersebut hampir terdapat dalam beberapa ukiran bangunan pada kebudayaan di Lombok, Jawa Papua maupun Toraja.

"Seolah-olah nenek moyang kita mengambil suluran sebagai bentuk ornamen dan seolah -olah seperti bersepakat, padahal nggak ada konsesus untuk membuat ornamen dari pohon kehidupan. Entah kenapa punya gambaran yang sama atas pohon kehidupan," katanya.

Motif Canggih

Temuan tersebut juga melahirkan pertanyaan bagi Vande yaitu bagaimana nenek moyang dahulu membuat motif tanpa alat ukur yang canggih seperti saat ini.

"Pembuatan ukiran tersebut juga berkecenderungan bagaimana bikin ukiran, tapi jangan sampai orang lain mengetahui cara memulainya, semua bidang nggak ada ruang kosong," ujar Vande.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam membuat motif ukiran ternyata para leluhur cuma mengikuti pola sederhana geometri sistem L.

Teknik pembuatan Gorga Batak kemudian dieksplorasi lebih jauh dengan menggunakan pendekatan Sistem-L, yang rintis oleh biolog Hunggaria, Astrid Lindenmayer (1925-1989). Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan tanam-tanaman multi-selular.

Sistem L dapat dilihat sebagai geometri kura-kura. Saat kura-kura berjalan di sebuah bidang terbatas dengan aturan-aturan tertentu, jejak langkahnya memberi bentuk sulur, menggambarkan pepohonan tumbuh. Sistem L ini juga diadopsi dalam animasi game sederhana.

Penelitian juga menemukan tiga aturan sederhana geometri kura-kura yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk yang memiliki similaritas dengan Gorga Batak ini.

"Gorga Batak, rupanya merupakan sebuah seni generatif, dengan aturan sederhana variasi dan bentuk estetika visual dihasilkan, Teknologi mengajarkan, aturan-aturan geometris sederhana ini bisa kita tumbuhkan di komputer dan kini kami memiliki simulator gorga, Gorga Batak kami tumbuhkan secara komputasional," tambah Vande. (ren)

Mengungkap Misteri Asal Usul Nenek Moyang Bongso Batak 

Misteri asal usul nenek moyang orang Batak yang hidup di Sumatera Utara, dan sebagian wilayah Aceh Singkil, Gayo, serta Alas, kini sudah mulai diketahui. Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bongso Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria dari Ras Mongolia.

Fakta ini diungkapkan Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan, Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalah berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen”

Pada masa itu, nenek moyang orang Batak ini diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (Cina). Dari peristiwa migrasi itu, saat ini di pegunungan Tibet dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar.

“Suku Mansyuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar,” jelas Bungaran seraya menambahkan fakta ini diketahuinya dengan membuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.

Selain melalui peneletian langsung, pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, dan Edmund Leach, Rithingking Anhtropology yang mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.

Hasil penelitian dan kajian literatur itu, Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini.


Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Mansyuria menjadi manusia kapal menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). 


  Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.

Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.

Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.

“Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh,” urai Bungaran.

Dari catatan Bungaran, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo.

Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun.

“Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak,” beber Bungaran.

Menurut sejumlah literatur, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini.

Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula-hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi.